Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Penyakit babi

THE INFLUENCE OF GIVING PAPAYA SKIN FRUIT FLOUR (Carica papaya) IN RATION TOWARD THE SUMM OF EGGS AND WORM LARVA IN FECES OF PIG LIVESTOCK IN FINISHER PERIOD

Marsudin Silalahi , Sauland Sinaga

 

ABSTRAK

Penelitian telah dilakukan di Koperasi Peternak Babi Indonesia (KPBI), Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Lembang, Kabupaten Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa jumlah telur dalam tiap gram feses yang terdapat pada ternak babi yang diberi pakan tepung kulit buah pepaya dan mengetahui jumlah larva yang menginvestasi ternak babi tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sensus dengan dua kali pengulangan pengambilan sampel, ternak penelitian yang digunakan adalah 18 ekor ternak babi sehingga diperoleh 36 sampel. Pengambilan feses dilakukan di kandang pemeliharaan diambil dari rektum dari tiap ekor ternak babi. Sampel yang telah diambil dianalisis kemudian dilakukan pemeriksaan untuk mengidentifikasi jumlah telur dan larva cacing yang menginfeksi ternak babi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh pengurangan jumlah telur cacing Strongylus sp, Ascaris sp dan Trichuris suis pada pemberian tepung kulit buah pepaya 5% dan 10% serta tidak ditemukan adanya larva  Strongylus sp, Ascaris sp dan Trichuris suis.


Kata kunci : babi, jumlah telur, jumlah larva, tepung kulit buah pepaya

 

ABSTRACT

The research had done at Koperasi Peternak Babi Indonesia (KPBI), Village of Kertawangi, Subdistrict Cisarua, Lembang, Regency of Bandung. This research aimed to know how many eggs in each gram of feces contain in pig livestock which was given papaya skin fruit flour and to know how many larvae invest that pig livestock. The research method used census method with two times repetition took sample, research livestock used 18 pigs livestock thus gained 36 samples. Feces collecting did in pen of hogs caring took from rectum each pig livestock. The samples took which had analyzed then investigated to know how many eggs and to know how many larvae invest that pig livestock. The results showed that the influence of reducing the amount of Strongylus sp worm eggs, Ascaris sp and Trichuris suis on the skin giving papaya powder 5% and 10% and amount of Strongylus sp, Ascaris sp and Trichuris suis did not find any larvae.

Keywords: pigs, amount of eggs, amount of larvae, papaya skin flour

 

 

PENDAHULUAN

            Babi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena mempunyai sifat – sifat menguntungkan diantaranya : laju pertumbuhan yang cepat, jumlah anak perkelahiran (litter size) yang tinggi, efisien dalam mengubah pakan menjadi daging dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan lingkungan.


Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak babi dari aspek manajemen adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit. Ternak babi sangat peka terhadap penyakit, salah satunya adalah penyakit endoparasit. Parasit merupakan makhluk hidup yang dalam kehidupannya menggunakan makanan makhluk hidup lain sehingga sifatnya merugikan. Cacing mempunyai salah satu sifat merugikan yaitu menimbulkan gangguan nafsu makan dan pertumbuhan. Gangguan pada pertumbuhan akan berlangsung cukup lama sehingga produktivitas akan turun. Gejala-gejala dari hewan yang terinfeksi  cacing antara lain, badan lemah dan bulu rontok. Jika infeksi sudah lanjut diikuti dengan anemia, diare dan badannya menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian. Adanya parasit di dalam tubuh ternak tidak harus diikuti oleh perubahan yang sifatnya klinis. Kehadiran parasit cacing bisa diketahui melalui pemeriksaan feses, dimana ditemukan telur cacing, makin banyak cacing makin banyak pula telurnya. Perubahan populasi cacing dalam perut babi dapat diikuti dengan menghitung telur tiap gram feses (TTGF) secara rutin.

Tingkat prevalensi parasit cacing  tergantung pada jumlah dan jenis cacing yang menginfeksinya. Guna mengurangi resiko akibat infestasi cacing ini perlu diketahui jenis cacing, siklus hidup dan epidemologi dari cacing tersebut. Mengendalikan parasit diperlukan pemeriksaan rutin terhadap adanya endoparasit, terutama jenis dan derajat infestasi yang dapat dilakukan bersama-sama dengan pemeriksaan fisik secara rutin (Subronto dan Tjahajati, 2001). Masalah penyakit khususnya penyakit cacingan pada babi dapat diatasi dengan cara menggunakan obat cacing. Pemberian obat-obatan tersebut harus diulang-ulang dan disesuaikan dengan daur hidup cacing. Biaya yang dibutuhkan untuk pemberian obat cacing memerlukan biaya yang mahal. Alternatif lainnya untuk pengobatan adalah dengan pemberian obat tradisional yang dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu jenis flora yang ada di negara kita yaitu pepaya. Selain mudah didapat buah pepaya pun relatif murah harganya.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Pemberian Tepung Kulit Buah Pepaya (Carica papaya) Dalam Ransum Terhadap Jumlah Telur Dan Larva Cacing Dalam Feses Ternak Babi Periode Finisher”.

 

Identifikasi Masalah

Jumlah telur dan larva cacing dalam tiap gram feses yang terdapat pada babi finisher yang diberi pakan tepung kulit buah papaya (Carica papaya).


Maksud dan Tujuan Penelitian

Mengetahui jumlah telur dan larva cacing dalam tiap gram feses yang terdapat pada babi yang diberi pakan tepung kulit buah papaya (Carica papaya).

Kerangka Pemikiran

Parasit merupakan makhluk hidup yang dalam kehidupannya mengambil makanan makhluk lain, sehingga sifatnya merugikan. Parasit dibagi menjadi dua macam, yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya dipermukaan tubuh hewan, yang keberadaannya mengganggu ketentraman hewan dalam pemeliharaan sehingga akan mengganggu proses fisiologis hewan tersebut, sedangkan endoparasit adalah yang hidup di dalam tubuh hewan.

Endoparasit di dalam tubuh akan merampas zat-zat makanan yang diperlukan bagi induk semangnya, cacing dalam jumlah banyak akan mengakibatkan kerusakan usus atau menyebabkan terjadinya berbagai reaksi tubuh yang antara lain disebakan oleh toksin yang dihasilkan oleh cacing-cacing tersebut. Parasit-parasit tersebut biasanya tidak menyebabkan kematian pada hewan secara langsung, melainkan mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan pada hewan dewasa dan pertumbuhan akan terhambat pada hewan-hewan muda. (Tarmudji dkk, 1988). Penyakit endoparsit, terutama cacing, menyerang hewan pada usia muda (kurang dari 1 tahun). Presentase yang sakit oleh endoparasit dapat mencapai 30% dan angka kematian yang bisa ditimbulkan adalah sebanyak 30% (Wiryosuhanto dan Jacoeb, 1994).

Menurut Subronto dan Tjahajati (2001), untuk terjadinya infeksi, parasit harus mampu mengatasi pertahanan tubuh hospes definitive. Hubungan parasit dengan hospes dan keadaan sekitarnya perlu dianalisis untuk tiap keadaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah parasit sehingga mampu berkembang serta mencapai kematangan seksual tergantung pada (a) kesempatan hospes berkenalan dengan parasit, (b) biologi parasit, dan (c) tingkat kerentanan hospes. Tiap parasit memiliki sifat khusus dalam daur hidupnya dan kemampuan dari parasit untuk menghasilkan keturunannya.

Jumlah telur tiap gram feses (TTGF) berbanding lurus dengan jumlah cacing betina dewasa yang terdapat dalam saluran pencernaan (Robert dan Swann 1981 dalam Kusumamihardja 1992). Gejala terserangnya parasit cacing akan terjadi tergantung dari jenis parasit, kondisi induk semang, organ yang dipengaruhinya, jumlah parasit, iklim dan umur hewan.  Beberapa faktor yang akan mempengaruhi pertumbuhan cacing diantaranya kepadatan inang antara dan inang definitif, derajat infeksi dari inang definitif, serta penyebaran inang yang terinfeksi oleh cacing tersebut (Lawson dan Gemmel, 1983). Beberapa alternatif zat aditif telah ditawarkan bagi peternak untuk memicu produksi dan reproduksi yang dihasilkan melalui ekstraksi berbagai jenis tanaman yang mempunyai senyawa bioaktif sebagai antioksidan, antibiotik, meningkatkan nafsu makan, meningkatkan sekresi enzim-enzim pencernaan dan meningkatkan kekebalan tubuh, untuk itu negara kita mempunyai peluang cukup besar karena kaya akan keanekaragaman sumber daya alam hayati.


Pepaya (Carica papaya L) merupakan tanaman obat tradisional yang memiliki khasiat sebagai penambah nafsu makan, obat cacing, menurunkan tekanan darah, anemia dan membunuh amuba. Kandungan kimia yang dikandung pepaya antara lain enzim papain, alkaloid karpaina, glikosid, saponin, sakarosa, dextrosa serta mengandung vitamin A yang cukup tinggi yaitu 18.250 IU yang berfungsi sebagai provitamin A. Papain juga dapat memecah makanan yang mengandung protein hingga terbentuk berbagai senyawa asam amino yang bersifat autointoxicating atau otomatis menghilangkan terbentuknya substansi yang tidak diinginkan akibat pencernaan yang tidak sempurna. (Cybermed.cbn.net.id, 2006). Papain mempunyai sifat Vermifuga kemampuan menguraikan protein sehingga protein terurai menjadi polipeptida dan dipeptida. Cacing termasuk protein yang tidak terlindungi oleh selaput sehingga bila papain masuk ke saluran usus yang banyak mengandung cacing, cacing tersebut akan terurai atau menghindar dengan keluar dari lubang anus. Papain bisa memecah protein menjadi arginin, senyawa arginin merupakan salah satu asam amino esensial yang dalam kondisi normal tidak bisa diproduksi tubuh dan biasa diperoleh melalui pakan, namun bila enzim papain terlibat dalam proses pencernaan protein, secara alami sebagian protein dapat diubah menjadi arginin. Proses pembentukan arginin dengan papain ini turut mempengaruhi produksi hormon pertumbuhan. (Wikipedia.com, 2006).

Papain melemaskan cacing dengan cara merusak protein tubuh cacing. Papain merupakan enzim protease sulfhidril dan akan mendegradasi protein-protein jaringan konektif dan myofibril. Proses penguiraian protein pada cacing terjadi melalui mekanisme pemutusan ikatan sebagai berikut : —Phe—AA — Z;—Val—AA— Zi—Leu—AA—Z;—He—AA—Z

(AA merupakan residu asam amino; z merupakan residu asam amino; ester, atau amida) (Asiamaya.com, 2001).


Beberapa penelitian yang mendukung pemanfaatan pepaya sebagai anthelmetika diantaranya yang dilakukan secara in vitro (Atiyah, 2001) dalam penelitiannya digunakan bahan berupa getah yang diperoleh dengan cara menyadap buah muda pepaya tanpa dipetik. Isolasi papain dilakukan dengan membiarkan getah dalam alkohol 80%, sehingga papain akan mengendap. Endapan papain dikeringkan dalam oven bersuhu 50 – 550C selama enam jam, uji terhadap Ascaris sp dilakukan dengan merendam cacing pada larutan papain secara in vitro bekerja sebagai antelmentik pada dosis 600 mg. Perlakuan efek antelmentik papain kasar terhadap cacing lambung (Haemochus contortus), secara in vivo pada domba jantan terinfeksi, dilakukan (Ridayanti, 2001) hasilnya menunjukkan pemberian papain kasar sampai 0,6 g/kg bobot badan meyebabkan penurunan jumlah cacing dan telurnya. (Nuraini, 2001) dari Jurusan Biologi FMIPA Unair, dalam penelitiannya membuktikan, secara in vitro pemberian 50% perasan daun pepaya gantung (Carica papaya) setelah setengah jam, sudah menimbulkan efek kematian pada cacing hati sapi (Fasciola gigantica). Bila lamanya mencapai dua jam, semua cacing yang direndam akan mati (Atiya, dkk. 2001). Berdasarkan kerangka pemikiran diatas diambil hipotesa bahwa pemberian limbah kulit buah pepaya mampu mengurangi jumlah telur dan larva cacing.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 Mei sampai tanggal 20 Juni 2009 di Koperasi Peternak Babi Indonesia (KPBI), Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Lembang, Kabupaten Bandung. Analisis dilakukan di Laboratorium Balai Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet (BPPHK) Jl. Raya Tangkuban Perahu. KM 22 Cikole Lembang.


TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Ternak Babi

Babi merupakan ternak monogastrik yang memiliki kesanggupan dalam mengubah bahan makanan secara efisien apabila ditunjang dengan kualitas ransum yang dikonsumsi. Besarnya konversi babi terhadap ransum ialah 3,5 artinya untuk menghasilkan berat babi 1 kg dibutuhkan makanan sebanyak 3,5 kg ransum (Goodwin, D. H. 1974). Babi lebih cepat tumbuh, cepat dewasa dan bersifat prolifik yang ditunjukkan dengan banyaknya anak dalam setiap kelahiran yang berkisar antara 8 -14 ekor dengan rata-rata dua kali kelahiran pertahunnya (Sihombing, 1997).

Beberapa jenis penyakit pada babi khususnya penyakit parasiter oleh cacing masih banyak ditemukan di lapangan, antara lain Nematodiosis.  Penyakit  ini disebabkan oleh  cacing dari klas nematoda atau cacing gilig.  Infeksi cacing ini menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi, karena menyebabkan pertumbuhan ternak menjadi tidak optimal. Akhir-akhir ini telah mulai adanya laporan tentang adanya sifat resistensi cacing terhadap beberapa jenis sediaan antelmintika (obat pembasmi cacing)  yang diduga disebabkan oleh penggunaan obat yang tidak rasional (ketidak tepatan  pemilihan obat, waktu pengobatan dan dosis yang diberikan).  Penelitian ini dilakukan dengan harapan hasilnya dapat digunakan sebagai acuan dalam  memberantas cacingan khususnya untuk babi-babi yang kaji.


            Pada dasarnya babi mengkonsumsi makanannya untuk memenuhi kebutuhan energinya, yang dipakai untuk mengatur suhu tubuh, fungsi vital, aktivitas, reproduksi dan produksi. Untuk babi jumlah makanan yang dikonsumsi sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kandungan energi ransum, dan level pemberian makanan. Untuk babi di daerah tropis, jumlah makanan yang dikonsumsi cenderung lebih sedikit daripada di daerah subtropis. Hal ini akan berdampak negatif terhadap performans ternak babi khususnya di daerah tropis, jika tidak diimbangi dengan pemberian nutrient esensial yang secukupnya, oleh karena itu perlu disusun ransum seimbang yang mengandung nutrien lengkap dan jumlah serta proporsi yang tepat agar ternak babi dapat berkembang dengan baik dan sehat.

 

Endoparasit  Pada Ternak Babi

            Parasit merupakan mahluk hidup yang dalam kehidupannya mengambil makanan mahluk hidup lain, sehingga sifatnya merugikan. Parasit dibagi menjadi dua macam, yaitu ektoparasit dan endoparasitEktoparasit adalah parasit yang hidupnya dipermukaan tubuh hewan, yang keberadaannya mengganggu ketentraman hewan dalam pemeliharaan sehingga akan mengganggu proses fisiologis hewan tersebut, sedangkan endoparasit adalah yang hidup di dalam tubuh hewan.


Menurut Subronto dan Tjahajati (2001), untuk terjadinya infeksi, parasit harus mampu mengatasi pertahanan tubuh hospes definitif. Dalam tubuh hospes yang bertindak sebagai reservoir, populasi parasit harus mantap dari generasi induk sampai generasi selanjutnya. Parasit dapat lepas dari hospes yang bertindak sebagai reservoir dengan cara parasit dibebaskan oleh hospes dan langsung masuk ke dalam tubuh hospes definitif atau hospes yang bertindak sebagai reservoir dihancurkan terlebih dahulu dan baru masuk setelah parasit bebas masuk ke dalam tubuh hospes definitive. Penularan terhadap hospes yang rentan oleh parasit stadium infektif yang terdapat di luar tubuh hospes definitif dimungkinkan apabila parasit sanggup mengatasi faktor lingkungan, persaingan antar parasit sendiri dan gangguan secara mekanis oleh ternak.

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah parasit sehingga mampu berkembang serta mencapai kematangan seksual tergantung pada (a) kesempatan hospes berkenalan dengan parasit, (b) biologi parasit, dan (c) tingkat kerentanan hospes. Tiap parasit memiliki sifat khusus dalam daur hidupnya dan kemampuan dari parasit untuk menghasilkan keturunannya. Parasit akan bertahan tergantung pada jumlah telur yang dihasilkan, panjang waktu menghasilkan telur dan jumlah telur yang dihasilkan setiap hari (Subronto dan Tjahajati, 2001).

 

Helminthiasis  Pada Ternak Babi

Kesehatan Ternak Babi dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kondisi lingkungan pemeliharaan, makanan, pola manajemen, bibit penyakit dan kelainan – kelainan metabolisme. Presentase ternak yang sakit oleh endoparasit dapat mencapai 30% dan angka kematian yang bisa ditimbulkan adalah sebanyak 30% (Wiryosuhanto dan Jakob, 1994).

            Nematoda adalah cacing yang hidup bebas atau sebagai parasit.  Ciri-ciri tubuhnya tidak bersegmen dan biasanya berbentuk silinder yang memanjang serta meruncing pada kedua ujungnya. Nematoda memiliki siklus hidup langsung, sehingga tidak memerlukan inang antara dalam perkembangan hidupnya. Cacing betina dewasa bertelur dan mengeluarkan telur bersamaan dengan tinja, di luar tubuh telur akan berkembang. Larva infektif dapat masuk ke dalam tubuh babi secara aktif, tertelan atau melalui gigitan vektor berupa rayap. Badannya dibungkus oleh lapisan kutikula yang dilengkapi dengan gelang – gelang yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa (Kusumamihardja, 1992).


Strongylus sp

Strongylus sp merupakan cacing parasit pada ternak babi, berdasarkan klasifikasi taksonomi dalam Soulsby (1982) cacing ini termasuk dalam klasifikasi :

Filum               :  Nemathelminthes

Kelas               :  Nematoda


Ordo                :  Strongylyda

Superfamili      :  Strongyloidea

Famili              :  Strongylus


  Spesies           :  Strongylus vulgaris, Strongylus equines, Stronglus 

   Edentates

 

Morfologi an Siklus Hidup

Cacing Strongylus sp mulutnya dilapisi oleh kapsul yang bentuknya hampir bulat. Suatu cincin yang tersusun dari tonjolan – tonjolan seperti pagar dikenal sebagai korona radiata mengelilingi mulut. Cacing ini tidak mempunyai gigi ataupun lempeng – lempeng pemotong, cacing jantan mempunyai suatu pelebaran di ujung posteriornya dan cacing betina mempunyai ujung ekor yang lancip.


Strongylus sp memliki siklus hidup langsung. Cacing betian dewasa bertelur dan keluar tubuh inang bersama dengan feses. Di luar tubuh inangnya telur akan berkembang. Perkembangan sel telur setelah terjadinya pembelahan membagi diri menjadi dua, lalu empat dan seterusnya. Kemudian embrio berkembang menajdi masa morula kemudian masa kecebong yaitu ujung anteriornya lebar dan embrionya melingkar dua kali.  Pada kondisi tropis di Indonesia yang suhunya 280C – 300C  merupakan suhu yang relatif baik untuk menetasnya telur strongylus sp. Telur akan berkembang menjadi L3 dalam waktu 3 – 4 hari.

Telur strongylus sp menetas di luar tubuh induk semang menghasilkan larva 1 (L1) dalam suhu 80C – 380C kemudian melewati dua kali ekdisis (ganti kulit) menjadi L2 dan selanjutnya L3 disebut stadium infektif. Larva pertama biasanya keluar dari telur yang berumur dua hari bila keadaan baik. Larva makan bakteri yang terdapat dalam feses kemudian melakukan ekdisis dua kali dalam waktu 5 – 6 hari sehingga mencapai larva ketiga (larva infektif). Larva infektif memiliki selubung kutikula ganda sehingga relatif lebih tahan teehadap berbagai kondisi buruk.


Gejala Klinis dan Patogenesis

            Patogenesis infestasi cacing adalah proses perubahan patologis yang terjadi akibat interaksi antara cacing dan inangnya. Jenis dan perluasan dari kontak parasit dan jaringan inang ditentukan oleh mekanisme biologis yang tak terpisahkan antara parasit dan proses fisiologik induk semang yang merespon masuknya cacing.

            Larva strongylus sp mulai menimbulkan kerusakan pada saat menyusup dalam dinding usus kecil dan usus besar. Selanjutnya larva keempat dan kelima menimbulkan kerusakan pada sistem arteri dan mulai katup aorta sampai arteri mesenterica cranialis dan cabang-cabangnya. Peradangan terjadi pada lapisan media dan menimbulkan thrombus (darah beku). Larva biasanya terbungkus dalam thrombus, bila thrombus ini lepas biasanya berakibat fatal terutama bila thrombus ini terjadi pada daerah pangkal sistem arteri yang bisa mengakibatkan penyumbatan arteri coronaria (Kusumamihardja, 1992).


Ascaris sp

Berdasarkan kalsifikasi taksonomi dalam soulsby (1986) cacing ini termasuk dalam klasifikasi :

Filum               :  Nematoda

Kelas               :  Secernentea

Ordo                :  Ascaridida


Famili              :  Ascarididae

Genus             :   Ascaris

Spesies           :   Ascaris sp, Ascaris lumbricoides


 

Morfologi dan Siklus Hidup

Cacing Ascaris sp  merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada ternak babi, teutama babi muda di seluruh dunia (Soulsby, 1982). Kejadian ascariasis sangat tinggi pada babi-babi di daerah tropis dan sub tropis (Chan, 1997 dalam Tsuji, et al (2003). Cacing ini  berparasit pada usus halus (Soulsby, 1982). Infeksi dapat terjadi melalui pakan, air minum, puting susu yang tercemar, melalui kolostrum dan uterus (Levine, 1990).

Siklus hidup ascaris terdiri dari 2 fase perkembangan, yaitu eksternal dan internal. Fase eksternal  dimulai  dari sejak telur dikeluarkan dari tubuh penderita bersama tinja. Pada kondisi lingkungan yang menunjang larva stadium 1 di alam akan menyilih menjadi larva stadium 2 yang bersifat infektif ( siap menulari ternak babi jika tertelan). Di dalam usus, kulit  telur  infektif yang tertelan akan rusak sehingga larva terbebas (larva stadium II). Larva stadium II tersebut selanjutnya  menembus mukosa usus dan bersama sirkulasi darah vena porta menuju ke hati. Dari telur tertelan sampai larva mencapai organ hati, butuh waktu sekitar  24 jam (Smith, 1968). Dari hati, larva stadium II  akan terus mengikuti sirkulasi  darah sampai ke organ jantung  dan paru-paru. Setelah 4 – 5 hari infeksi, larva stadium II akan mengalami perkembangan menjadi larva stadium III, selanjutnya menuju ke alveoli, bronkus dan trakhea (Soulsby, 1982).  Dari trakea, larva menuju ke saluran pencernaan. Larva stadium III mencapai  usus halus  dalam waktu 7 – 8 hari dari infeksi, selanjutnya menjadi larva stadium IV, pada hari ke 21-29 larva stadium IV menjadi larva stadium V di dalam usus halus (Lapage, 1956) dan selanjutnya pada hari ke 50 – 55 telah menjadi cacing dewasa (Seddon, 1967). Satu ekor cacing betina dewasa rata-rata bertelur 200.000 butir per hari dan selama hidupnya diduga dapat bertelur 23 milyar butir (Dunn, 1978).


 

Gejala Penyakit dan Patogenesis

Ascaris sp merupakan cacing yang sangat berbahaya karena telurnya dapat masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru. Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus, masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea, kemudian di laring. Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus, larva akan menjadi cacing dewasa.


Pada stadium larva, Ascaris dapat menyebabkan gejala ringan di hati dan di paru-paru akan menyebabkan sindrom Loeffler. Sindrom Loeffler merupakan kumpulan tanda seperti demam, sesak nafas, eosinofilia, dan pada foto Roentgen thoraks terlihat infiltrat yang akan hilang selama 3 minggu. Pada stadium dewasa, di usus cacing akan menyebabkan gejala khas saluran cerna seperti tidak nafsu makan, muntah-muntah, diare, konstipasi, dan mual. Bila cacing masuk ke saluran empedu makan dapat menyebabkan kolik atau ikterus. Bila cacing dewasa kemudian masuk menembus peritoneum badan atau abdomen maka dapat menyebabkan akut abdomen.


Trichuris suis

Berdasarkan klasifikasi taksonomi dalam Soulsby (1986) cacing ini termasuk dalam klasifikasi :

Filum               :  Nematoda

Kelas               :  Adenophorea

Ordo                :  Trichurida


Famili              :  Trichuridae

Genus             :  Trichuris

Spesies           :  Trichuris suis


 

Morfologi dan Siklus Hidup

Cacing Trichuris sp berparasit pada mukosa kolon babi (Anonimous, 2004a). Selain menginfeksi babi-babi peliharaan, juga dilaporkan menginfeksi babi liar dan babi hutan. Cacing ini sering disebut Whipworm. Morfologinya hampir sama dengan Trichuris trichura yang menginfeksi manusia dan primata lain, namun belum ada bukti kongkret yang menyatakan bahwa kedua parasit tersebut dapat saling bertukar induk semang seperti halnya cacing Ascaris sp pada babi dan manusia (Soulsby, 1982). 


Siklus hidup  cacing Trichuris sp, di mulai dari keluarnya  telur dari tubuh bersama tinja dan berkembang menjadi telur infektif dalam waktu beberapa minggu. Telur yang sudah berembrio dapat tahan beberapa bulan apabila berada di tempat yang lembab. Infeksi biasanya terjadi  secara peroral (tertelan lewat pakan dan atau air minum). Apabila tertelan, telur-telur tersebut pada sekum  akan menetas dan dalam waktu sekitar empat minggu telah menjadi cacing dewasa (Soulsby, 1982).

Epidemiologi Cacing pada Ternak Babi

            Studi tentang epidemiologi cacing pada ternak babi bertujuan untuk menyelidiki fluktuasi jumlah telur dalam feses. Jumlah cacing nematoda selain dipengaruhi oleh iklim juga dipengaruhi oleh cara pemeliharaan. Situasi lingkungan dan pengairan tempat perkandangan perlu diperbaiki dengan baik agar dapat dihindari daerah perkandangan yang lembab dan basah atau banyak kubangan tidak sehat yang memungkinkan sebagai tempat hidupnya induk semang antara lain, khususnya siput. Kesehatan lingkungan perkandangan biasanya dapat dipelihara dengan baik. Kebersihan kandang harus terjaga dan dihindari adanya pakan yang masih tersisa di malam hari. Sejauh mungkin diupayakan agar seluruh pakan yang disediakan habis termakan dan tidak banyak yang jatuh berceceran di lantai atau menumpuk di sekitar kandang.


Faktor suhu dan kelembaban sangat besar pengaruhnya terhadap  kelangsungan hidu cacing stasium bebas di alam. Suhu optimum baggi kehidupan tiap parasit berbeda-beda tergantung dari spesiesnya. Kisaran suhu yang diperlukan oleh Nematoda stadium bebas di alam adalah antara 180-380C. Selain suhu faktor lain yang berpengaruh adalah kelembaban. Kelembaban yang tinggi sangat membantu dalam menghancurkan feses yang diduga mengandung telur cacing yang dapat meningkatkan stadium infektif dari cacing.

Kerugian Akibat Infestasi Parasit Cacing

            Adanya infestasi parasit cacing yang patogen di dalam tubuh ternak tidak selalu mengakibatkan parasitisme yang sifatnya klinis. Parasitisme cacing baru akan memperlihatkan gejala klinis bila keseimbangan hubungan terganggu, yang mungkin disebabkan oleh kepekaan hospes yang menurun dan atau oleh peningkatan jumlah cacing yang patogen di dalam tubuh ternak. Kerusakan jaringan oleh parasit yang virulen dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Perubahan yang ditimbulkan oleh parasit cacing dapat berupa (1) kerusakan sel dan jaringan, (2) perubahan fungsi faal dari hospes, (3) penurunan daya tahan terhadap agen penyakit lain, (4) masuknya agen penyakit sekunder setelah terjadinya kerusakan mekanik lain dan (5) parasit mampu menyebarkan mikroorganisme patogen.

Jumlah TTGF dapat dipakai sebagai penduga barat atau ringannya derajat infestasi. Infestasi ringan memiliki jumlah TTGF 50-500, infestasi sedang memiliki TTGF 500-2000 dan infestasi berat memiliki jumlah TTGF lebih dari 2000 (Taazona dalam Kusumamihardja, 1992), derajat keparahan infestasi tergantung jumlah cacing yang menginfestasi. Penurunan berat badan akan terjadi pada infestasi 300 ekor dewasa atau setara dengan 1800 TFGF (Kusumamihardja, 1992).

Infestasi parasit cacing dapat menyebabkan penurunan bobot badan dan gastritis. Penurunan berat badan dapat terjadi akibat anoreksia, peningkatan asam lambung, gastrin dan kolesistokinin yang menyebabkan pengosongan lambung secara cepat sehingga penyerapan makanan kurang efektif. Cacing merampas sari-sari makanan yang diperlukan bagi hospes, menghisap darah atau cairan tubuh dan makan jaringan tubuh. Gejala-gejala yang timbul pada hewan yang terinfestasi cacing antara lain badan lemah, nafsu makan kurang, bulu rontok, kulit pucat dan penurunan produksi susu. Jika infestasi sudah lanjut diikuti anemia, diare dan badannya menjadi kurus yang akhirnya bisa menyebabkan kematian (Subronto dan Ida Tjahajati, 2001).


Pengendalian Penyakit Cacingan pada Babi

Pengendalian penyakit cacing memerlukan penanganan yang terncana secara baik dengan memperlihatkan faktor pengobatan dan tatalaksana pemeliharaan ternak yang memadai. Peternak seringkali mengabaikan managemen peternakan yang baik, apabila dikaji secara seksama akan terlihat betapa besar kerugian yang dapat ditimbulkan oleh infrksi cacing.

Obat yang diberikan dan cara pemberiannya harus sesuai dengan petunjuk dokter hewan agar lebih efektif dan efisien. Pemberantasan penyakit cacing pada babi tidak cukup hanya mengandalkan ilmu pengobatan saja, tetapi harus memperhitungkan pula faktor ekonomi, penataan lingkungan, kebersihan kandang, daur hidup cacing serta tidak bisa hanya diberikan satu kali saja. Pemberian obat medik harus diulang – ulang dan disesuaikan dengan daur hidup cacing.

Potensi Limbah Buah Pepaya

Penyakit cacing pada ternak babi selain dapat diobati menggunakan obat – obatan medik, dapat juga diobati dengan menggunakan obat alternatif yaitu dengan pemberian tepung kulit buah pepaya. Tepung kulit buah pepaya mengandung zat atau enzim papain yang dapat berfungsi sebagai obat cacing atau anthelmentik. Enzim papain termasuk enzim protease, yaitu enzim yang menghidrolisis ikatan peptida pada protein, untuk melakukan aktivitasnya protease membutuhkan air sehingga dikelompokkan ke dalam kelas hidrolase. Protease berperan dalam sejumlah reaksi biokimia seluler, selain diperlukan untuk degradasi senyawa protein nutrien, protease terlibat dalam sejumlah mekanisme patogenisitas, sejumlah pasca translasi protein, dan mekanisme akspresi protein ekstraseluler. Pelepasan protease oleh cacing nematoda parasitik mempunyai peranan penting pada proses reaksi biologik seperti metabolisme protein. aktivitas protease mempunyai korelasi signifikan pada saat cacing parasitik menjalani penetrasi ke jaringan.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat Penelitian

Ternak yang digunakan adalah 18 ekor ternak babi hasil persilangan Landrace dengan Yorkshire. Kisaran bobot badan rata-rata ternak babi adalah 60,56 kg dengan koefisien variasi 1,42%. Babi ditempatkan secara acak dalam kondisi kandang individu dengan kondisi lingkungan yang sama dan jenis kelamin babi yaitu jantan kastrasi. Ransum yang diberikan pada ternak percobaan dalam penelitian berupa tepung. Bahan ransum didapat dari PT. Karya Mulya, Leles Kabupaten Garut. Bahan tersebut dikeringkan kemudian digiling hingga menjadi tepung.


  Alat-alat yang digunakan untuk mengindentifikasi jumlah telur dan larva cacing adalah : Mikroskop, alat untuk mengidentifikasi dan menghitung telur cacing (McMaster), cover glass, rak tabung, Erlenmeyer, gelas ukur, batang pengaduk, pipet pasteur, corong glass, timbangan, kain kassa, kapas, tabung reaksi, tabung sentrifugasi, sentrifugasi, cawan petri.

Kandang yang digunakan untuk penelitian adalah kandang individu yang berukuran 2 x 0,6 x 1,2 m dengan lantai semen dan beratap seng. Setiap unit kandang dilengkapi dengan tempat makan yang terbuat dari semen dan tempat minum otomatis berupa pentil yang terbuat dari besi tahan karat yang dihubungkan dengan tempat penampung air. Jumlah kandang yang diperlukan sebanyak 18 unit.

Ransum Penelitian

Bahan  yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum basal yang terdiri dari tepung jagung, tepung ikan, bungkil kelapa, tepung tulang, dedak padi dan tepung kulit pepaya. Kandungan nutrisi ransum basal dan tepung limbah kulit pepaya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Kandungan nutrisi ransum basal dan tepung kulit buah pepaya.


Kandungan Gizi Ransum Penelitian

(*)

Tepung Kulit Buah Pepaya (**)
EM (kkal) 3244,8 2419
PK (%) 14 25,85
SK (%) 7,5 2,39
Ca (%) 0,32 18,52
P (%) 0,66 0,88

Sumber : (*) NRC, 1998

                (**) Permana, 2007

Tabel 2. Kandungan nutrisi ransum penelitian

Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian
R0 R1 R2
EM (kkal) 3244,8 3203,51 3162,22
PK (%) 14 14,5925 15,185
SK (%) 7,5 8,051 8,062
Ca (%) 0,32 0,4235 0,527
P (%) 0,66 0,671 0,682

Keterangan :

R0 = 100% ransum basal

R1 = 95% ransum basal + 5% tepung kulit buah pepaya


R2 = 90% ransum basal + 10% tepung kulit buah pepaya

Metode Penelitian

Tahap Penelitian

  1. Persiapan kandang, pengadaan ternak, pengadaan ransum, dan peralatan. Setiap ekor babi dimasukkan ke kandang individu.
  2. Adaptasi babi terhadap ransum, kandang, perlakuan, dan lingkungan dilakukan selama satu minggu.
  3. Kandang dibersihkan dua kali sehari yaitu pada pukul 06.00 dan 12.00 WIB. Kandang dibersihkan dari semua kotoran yang dibuang ke saluran pembuangan, setelah itu babi dimandikan agar bersih dan merasa nyaman.
  4. Pemberian ransum sebanyak 1 kg/ekor dan dilakukan tiga kali sehari, yaitu pukul 06.00, 12.00 dan 16.00 WIB sehingga jumlah ransum per hari adalah 3 kg/ekor.
  5. Pemberian tepung kulit buah pepaya dilakukan dengan cara mencampurnya dalam 1 kg ransum pertama dalam 3 kali pemberian (total 3 kg/hari), diberikan pada babi sampai habis dikonsumsi.
    1. Pengambilan sampel feses yang akan diteliti dilakukan pada pagi hari setelah pembersihan kandang. Pengambilan dilakukan setelah ternak babi diberi perlakuan RVM, R1, R2 dan R3, selama 2 minggu.

 

Pengambilan Sampel Feses di Lapangan

Pengambilan sampel dilakukan terhadap 18 sampel feses yang diambil sebanyak 1 kali, dari 18 ekor babi. Feses dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label kemudian dimasukkan ke dalam termos es yang berisi icebrite dan dibawa menuju laboratorium BPPHK Cikole – Lembang, kemudian dilakukan pemeriksaan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Pemeriksaan kualitatif dimaksudkan untuk mengidentifikasi jenis cacing yang menginfeksi babi berdasarkan bentuk dan ukuran telur dari larvanya, sedangkan pemeriksaan kuantitatif dimaksudkan mengetahui banyaknya telur cacing setiap gram feses (TTGF) yang menggambarkan berat ringannya derajat infeksi. Hasil pengamatan dijelaskan secara deskriptif yaitu menjelaskan tentang jumlah telur dan jenis cacing yang menginfestasi babi. Metode kuantitatif yang digunakan adalah metode McMaster, sedangkan metode kualitatif dilakukan dengan melihat bentuk dan ukurannya, kemudian dibandingkan dengan bentuk dari standar yang sudah dikenal (Soulsby, 1982).


Penghitungan Telur Cacing (Metode Mc Master)

Penyiapan larutan pengapung : Larutan pengapung dibuat dari campuran garam (NaCl) 400 gr dan gula (C6H12O6) 500 gr yang ditambahkan air dua liter kemudian diaduk sampai larut. Penghitungan telur cacing : dilakukan dengan metode McMaster. Sebanyak dua gram feses dilarutkan dalam 60 ml larutan pengapung yang kemudian dihomogenkan tiga kali dengan cara menuang dari satu gelas ke gelas lain lalu dimasukan dalam kamar hitung McMaster dengan Pipet Pasteur. Dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan pembesaran 10 x  10. Untuk mengetahui jumlah Total Telur tiap Gram Feses (TTGF) dihitung dengan menggunakan metode Mcmaster dengan rumus sebagai berikut:


TTGF  =  (n/bf) X (Vtot/Vhit)

Vtot      =  Volume  dari 2 gr feses ditambah larutan pengapung

Vhit      =  Volume Kamar Hitung ( 2 x 0,5)


Bf        =  Berat feses (2 gr)

N         =  Jumlah Telur yang ditemukan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Pada pelaksanaan penelitian terdapat 3 macam perlakuan dan setiap perlakuan diulang sebanyak 6 kali.

Identifikasi Jenis Cacing Berdasarkan Larva

Untuk memeriksa Larva dilakukan dengan 3 tahap  yaitu :


  1. 1.      Pembuatan Kultur Feses

Feses yang sudah diperiksa dan positif mengandung telur dicampur dengan kompos steril (Vermikulate) dengan perbandingan yang sama. Kondisinya dibuat menjadi lembab dengan menambah sedikit air. Campuran feses dengan kompos steril diletakan dalam inkubator selama 6-7 hari dengan kisaran suhu  25-27 0C atau pada suhu ruangan sehingga semua larva mencapai taraf infektif.

  1. 2.      Pengumpulan Larva dari Kultur

Setelah diinkubasi, tutup petridish kultur dibuka dan masukan air dari petridish kedalam tabung dengan pipet. Sentrifuse selama lima menit dengan kecepatan 5.000 rpm.

  1. 3.      Identifikasi Larva

Larutan larva yang telah terkumpul dalam tabung reaksi diambil dengan pipet pasteur, satu tetes larutan larva dipindahkan pada gelas objek lalu tutup dengan cover glass kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10.

 


HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pemberian Tepung Kulit Buah Pepaya Terhadap Jumlah Telur Cacing.

Berdasarkan hasil penelitian pada ternak babi yang dipelihara di Koperasi Peternak Babi Indonesia (KPBI), Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Lembang yang di analisis di BPPHK Cikole, Lembang telah dilakukan pada tanggal 1 mei sampai dengan tanggal 20 juni 2009. Penelitian ini menghasilkan jumlah telur dari tiap gram feses yang terdapat pada ternak babi yang diberi pakan tepung kulit buah pepaya dengan hasil yang bervariasi.

Jumlah Telur Cacing Strongylus sp.

Data hasil penelitian pengaruh pemberian tepung kulit papaya terhadap jumlah telur cacing Strongylus sp,  Ascaris sp dan  Trichuris suis tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3. Perhitungan Jumlah Telur Cacing Strongylus sp,  Ascaris sp dan  Trichuris suis


Jenis Cacing Perlakuan
R0 R1 R2
1.    Strongylus sp 243,33 a 0 b 0 b
2.  Ascaris sp 5.786,16 a 4.628,83 b 1.719,33 b
3. Trichuris suis 569,5 a 464,16 a 285,83 b

Ket.Huruf yang berbeda dalam kolom menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata.

Berdasarkan data pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa rata-rata telur cacing Strongylus sp terendah (0) dihasilkan pada perlakuan pemberian tepung kulit pepaya 5% dan 10% dibandingkan dengan rata-rata telur  yang dihasilkan pada perlakuan tanpa adanya pemberian tepung kulit pepaya (243,33).  Penggunaan limbah kulit buah pepaya ternyata dapat mengurangi jumlah telur cacing Strongylus sp pada babi (p<0,05). Limbah kulit buah pepaya yang mengandung papain bekerja secara vermifuga melemaskan cacing dengan cara merusak protein tubuh cacing. Papain merupakan enzim protease sulfhidril dan akan mendegradasi protein-protein jaringan konektif dan myofibril. Cacing termasuk parasit yang tubuhnya terdiri dari molekul – molekul protein yang tidak terlindungi oleh selaput sehingga bila papain masuk ke saluran usus yang banyak mengandung cacing, cacing tersebut akan terurai atau menghindar dengan keluar dari lubang anus.

Berdasarkan data pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa rata-rata telur cacing Ascaris sp  terendah (1.719,33) dihasilkan pada perlakuan pemberian tepung kulit buah pepaya 10%. Pada perlakuan dengan pemberian tepung kulit pepaya 5% (4.628,83) dan jumlah terbesar telur cacing Ascaris sp pada perlakuan tanpa pemberian tepung kulit buah pepaya (5.786,16).   Penggunaan limbah kulit buah pepaya ternyata dapat mengurangi jumlah telur cacing Ascaris. sp pada babi.  Cacing Ascaris sp merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada ternak babi, teutama babi muda di seluruh dunia (Soulsby, 1982). Kejadian ascariasis sangat tinggi pada babi-babi di daerah tropis dan sub tropis (Chan, 1997 dalam Tsuji, et al (2004). Cacing ini  berparasit pada usus halus (Soulsby, 1982). Infeksi dapat terjadi melalui pakan, air minum, puting susu yang tercemar, melalui kolostrum dan uterus (Levine, 1990). Satu ekor cacing betina dewasa rata-rata bertelur 200.000 butir per hari ; dan selama hidupnya diduga dapat bertelur 23 milyar butir (Dunn, 1978).


Berdasarkan data pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa rata-rata telur cacing Trichuris suis terendah (285,83) dihasilkan pada perlakuan pemberian tepung kulit pepaya 10%, 5% (464,16) dan rata – rata terbesar terdapat pada perlakuan tanpa adanya penambahan tepung kulit pepaya (569,5). Pengaruh tepung kulit buah papaya  perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05), papain pada tepung kulit buah pepaya dapat menurun akibat banyaknya kematian telur cacing karena pengaruh papain dari tepung kulit pepaya.

Pengaruh Pemberian Tepung Kulit Buah Pepaya Terhadap Jumlah Larva Cacing.

Berdasarkan data penelitian jumlah larva dari tiap gram feses yang terdapat pada ternak babi yang diberi pakan tepung kulit buah pepaya tidak ditemukan adanya jumlah larva cacing Strongylus sp, Ascaris sp, dan Trichuris suis dalam penelitian disebabkan adanya sanitasi ruangan dan alat – alat laboratorium dengan menggunakan alkohol yang dapat membunuh telur cacing dalam waktu 3 jam. Pemberian tepung kulit buah pepaya juga dapat menurunkan fertilitas telur cacing karena tepung kulit buah pepaya mengandung enzim papain yang secara vemifuga dapat merusak protein tubuh cacing sehingga cacing yang telah menetas tidak dapat bertahan hidup.


 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa pemberian tepung kulit buah pepaya pada dosis 10% dapat menurunkan jumlah telur Strongylus sp, Ascaris sp dan Trichuris suis, sedangkan tidak ditemukan larva cacing Strongylus sp, Ascaris sp, dan Trichuris suis disebabkan oleh penurunan fertilitas telur cacing yang dipengaruhi oleh papain serta prosedur sanitasi alat – alat dan ruangan laboratorium.


Saran

            Pemberian tepung kulit buah pepaya pada dosis 10% sudah mendapatkan hasil yang baik dan diharapkan tepung kulit buah pepaya dijadikan bahan pelengkap ransum karena dapat mengurangi penyakit cacingan pada ternak babi.

                                                          

 

 

 

                                                           DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2004a. Trichuris spp. http://evm.mscs.edu /courses/mic569 /docs/parasite/TRICH.HTML


Atiya, Ridayanti, dan Nuraini. 2001. Pemeriksaan Efek Anthelmentik Papain Kasar Terhadap Infeksi Buatan Cacing Haemonchus contortus. Rudolphi Pada Domba. JFF. MIPA. Unair.

Benbrook, E. A., and M. V. Sloss. 1961. Clinical Parasitology. 3  ed, Iowa State Univ. Press. Ames, Iowa, 3-17.

Dunn, A.M. 1978. Veterinary Helminthology. 2nd Ed. Williams Heinemann Medical Books LTD, London.

Goodwin, D. H. 1974. Beef Management and Production. London: Hutchinson.

Kusumamihardja, S. 1992.  Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piara. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.


Lapage, G.  1956. Veterinary  Helminthology  and Enthomology. 4th  Ed. Bailliere Tindall, London.

Lawson, J. L. dan M. A. Gemmel. 1983.  Transmission in Hydatidosis and cysticercosis. Advance’s in Parasitology 2a:279.


Levine, ND. 1982.  Textbook Of Veterinary Parasitology.  Burgess Publishing Company.  USA.

Levine, ND.  1990. Buku Pelajaran  Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh Prof. Dr. Gatut Ashadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

NRC. 1998. Nutrient Requirments of Swine. Nutrient Requirments of Domestic Animal, Ninth Revised Edition National Academy Press. Washingthon DC.


Seddon, H.R. 1967.  Helminth Infestation  2nd  Ed.  Commonwealth of Australia Department of Health, Sidney.

Siagian H. Pollung. 1999. Manajemen Ternak Babi, Diktat Kuliah Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sihombing. 1997. Ilmu Ternak Babi. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


Smith, J.D. 1968. Introduction to Animal Parasitology. The English Books University Press, LH. London.

Subronto, dan I. Tjahajati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soulsby, E.J.L. 1982.  Helminths, Antropods and Protozoa of Domesticated Animals. Inglish Laguage Book Service Bailiere Tindall.  7th Ed. Pp.231-257.

Tarmudji, Deddy Djauhari Siswansyah dan Gatot Adiwinata.  1988.  Parasit-parasit Cacing Gastrointestinal pada sapi-sapi di Kabupaten Tapin dan Tabalong Kalimantan Selatan, di dalam Penyakit Hewan.  Balai Penelitian Veteriner, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.


Tsuji, N., K. Suzuki., H.K. Aoki., T. Isobe., T. Arakawa dan Y. Matsumoto. 2003. Mice Intranasal  Immunized with a recombinant 16 kilodalton Antigen from Roundworm Ascaris Parasites are Protected Againts Larva Migration of Ascaris suum. Infection and Immunity Vol. 71, pp : 5314.

Wiryosuhanto, S. D. dan Jacoeb, T. N.  1994.  Prospek Budidaya Ternak Sapi. Kanisius.  Yogyakarta

KLIK LINK DIBAWAH UNTUK MENDUKUNG AGAR BLOG INI TETAP ADA: TRIMS!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar