Semoga dapat menambah pengetahuan tentang dampak walet bagi lingkungan
:::Bisnis Walet Mengganggu Lingkungan:::
Bagansiapiapi, Kompas - Maraknya bisnis sarang burung walet di
Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau, menuai kritik tajam dari
masyarakat. Kebisingan yang ditimbulkan oleh bunyi kaset pemikat
burung walet menuju kandangnya dipastikan melebihi ambang batas
kepekaan bunyi dan menjadi sumber pencemaran lingkungan. Kondisi
sarang dan burung walet sendiri disinyalir sebagai pembawa penyakit
mematikan bagi manusia.
Kebisingan suara walet terpaksa didengar oleh masyarakat Bagansiapiapi
dan juga para pendatang secara terus-menerus sepanjang hari, 24 jam.
Sumber bunyi bukan satu dua tempat atau bangunan saja, tetapi dari
hampir seluruh bangunan di pusat kota Bagansiapiapi. Kepala Dinas
Kesehatan (Dinkes) Provinsi Riau Ekmal Rusdy yakin bunyi tiruan burung
walet sudah melebihi 85 desibel, ambang batas normal kepekaan bunyi di
udara.
Seorang budayawan setempat yang juga pengamat sosial masyarakat,
Soedarno Mahyudin, mengatakan, pengusaha walet baik warga setempat
maupun pemodal dari luar daerah membangun gedung tinggi bertingkat
sebagai tempat bersarang burung-burung ini. Mereka memikat sekelompok
besar walet bersarang di gedungnya dengan memperdengarkan kaset tiruan
bunyi walet di setiap gedung.
Meski walet telah terperangkap bersarang pada gedung tertentu, tape
pemutar kaset akan terus dihidupkan. Cara ini dipercaya mampu
mempertahankan walet pulang ke sarang setelah bepergian sehari penuh.
Memikat burung walet agar mau bersarang dalam suatu gedung tidak
mudah. Banyak juga ditemukan gedung-gedung bertingkat yang kosong dari
serbuan walet meski bunyi tiruan suara burung walet terus
diperdengarkan. Namun, sepertinya warga yang menerjuni bisnis ini
tidak mau menyerah begitu saja. Kaset terus mengeluarkan bunyi khas
penarik walet sepanjang waktu.
Bunyi ini sudah melekat dalam keseharian kota dan memang sangat
mengganggu, terutama saat jam pelajaran berlangsung. Anak-anak
terpaksa ekstra konsentrasi ketika menyimak pelajaran," kata Budiono,
guru bahasa Mandarin di salah satu sekolah menengah di Bagansiapiapi.
Kepala Dinkes Riau menegaskan, bahaya yang ditimbulkan dari tak
terkontrolnya usaha walet sebenarnya lebih banyak bersinggungan dengan
kesehatan masyarakat. Genangan air pada gedung-gedung tempat walet
bersarang merupakan tempat ideal bagi nyamuk pembawa penyakit demam
berdarah berkembang biak.
Nyamuk pembawa demam berdarah adalah jenis nyamuk yang hidup di dalam
ruangan. Jika di dalam suatu ruangan terdapat sarana berupa genangan
air jernih yang ia butuhkan, maka perkembangbiakan terus terjadi.
Mereka pun lebih suka menyerang manusia di pagi hari seperti di dalam
ruang kelas," kata Ekmal.
Pembawa virus
Didukung kondisi demikian, daerah Bagansiapiapi sangat potensial
menjadi daerah endemik demam berdarah. Dampak maraknya bisnis walet
tepat di pusat kota ini juga disinyalir membawa virus penyebab
penyakit bagi masyarakat. Menurut Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Provinsi Riau Khairul Zainal, ada pendapat yang menyatakan
virus pada walet menyebabkan gangguan janin jika tertular pada manusia.
Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir Wazirwan Yunus
ketika dihubungi pertengahan Februari lalu mengatakan, hingga kini
belum ada penelitian khusus mengenai dampak negatif walet terhadap
kesehatan masyarakat di Bagansiapiapi. Namun, keluhan soal hal itu
sudah cukup banyak disampaikan warga.
Permasalahannya, belum ada satu pun kesepakatan pendapat mengenai
dampak pasti perkembangbiakan walet bagi kesehatan manusia. Khairul
mengatakan, pihaknya banyak mendapat masukan mengenai hal ini selama
beberapa tahun terakhir. Untuk itu, pihaknya akan mengadakan
penelitian dan workshop (lokakarya) berkaitan dengan berbagai sisi
baik dan buruk perkembangbiakan walet di pusat kota berdampingan
dengan kehidupan masyarakat.
"Di beberapa kabupaten/kota di Riau telah ada peraturan daerah yang
mengatur usaha walet. Tetapi memang lebih menitikberatkan pada
pertimbangan ekonomis, seperti pajak atau retribusi. Padahal, sisi
yang lebih penting adalah mengatur usaha ini agar meminimalkan atau
kalau dapat menjauhkan masyarakat dari ancaman gangguan kesehatan yang
ditimbulkan dari keberadaan walet di tengah-tengah masyarakat," kata
Khairul.
Menurut dia, sarang walet seharusnya berada jauh dari pusat permukiman
manusia. Secara alami, walet telah terbiasa mendiami goa-goa di
tebing-tebing dekat pantai. Di habitat alamnya, walet nyaman
berkembang biak sesuai dengan struktur asli alam. Manusia mulai
melihat nilai ekonomis sarang walet dengan menambangnya hingga merayap
ke tebing-tebing tersebut. Akal manusia terus berputar agar lebih
mudah memetik hasil sarang walet. Hasilnya adalah replika goa berupa
bangunan bertingkat tertutup rapat dan gelap hampir seluruh wilayah di
Nusantara.
Rp 40 juta per kg
Dalam satu bulan rata-rata pengusaha walet mampu memanen satu sampai
lima kilogram sarang walet. Terbagi dalam beberapa kualitas, penjualan
per kilogram berkisar antara Rp 10 juta hingga lebih dari Rp 40 juta.
Namun, keuntungan tersebut makin lama tidak lagi membuai masyarakat
setelah berbagai dampak negatif menjangkiti mereka.
Lapisan masyarakat dari berbagai kelas sosial mulai menyorot kehadiran
walet di tengah- tengah mereka. Masyarakat awam hanya melihat mereka
terpinggirkan dalam masalah ekonomi, tidak pernah terciprat
keuntungan, tetapi harus menanggung bising setiap hari.
Para pemerhati lingkungan melihat sisi kerusakan lingkungan dan
gangguan kesehatan parah yang dihasilkan tubuh-tubuh hitam bersayap
ini. Keindahan kota juga terganggu dengan hadirnya jutaan burung
menutupi langitnya pada pagi dan sore hari. Burung walet yang terbang
berkelompok juga dapat membahayakan lalu lintas penerbangan.
Dalam satu tahun terakhir, warga Bagansiapiapi mulai meminta
pemerintah setempat mendisiplinkan para pengusaha walet. Ini dilakukan
setelah lebih dari 15 tahun hidup bersama walet. Janji terbentuknya
peraturan daerah pun telah dikabarkan sejak beberapa bulan lalu.
Namun, hingga kini walet terus bebas berteriak sepanjang hari dan
bahaya kesehatan terus mengancam masyarakat.
Pemerintah daerah setempat yang diwakili Wazirwan Yunus mengatakan,
dalam tahun 2005 ini peraturan daerah walet akan disahkan. Tanpa dapat
menunjukkan rencana program penelitian terhadap detail usaha walet dan
analisis dampak kesehatannya, masyarakat Bagansiapiapi hanya dapat
berharap cemas janji itu dapat terealisasi dalam waktu dekat. (nel)
:::Bisnis Walet Mengganggu Lingkungan:::
Bagansiapiapi, Kompas - Maraknya bisnis sarang burung walet di
Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau, menuai kritik tajam dari
masyarakat. Kebisingan yang ditimbulkan oleh bunyi kaset pemikat
burung walet menuju kandangnya dipastikan melebihi ambang batas
kepekaan bunyi dan menjadi sumber pencemaran lingkungan. Kondisi
sarang dan burung walet sendiri disinyalir sebagai pembawa penyakit
mematikan bagi manusia.
Kebisingan suara walet terpaksa didengar oleh masyarakat Bagansiapiapi
dan juga para pendatang secara terus-menerus sepanjang hari, 24 jam.
Sumber bunyi bukan satu dua tempat atau bangunan saja, tetapi dari
hampir seluruh bangunan di pusat kota Bagansiapiapi. Kepala Dinas
Kesehatan (Dinkes) Provinsi Riau Ekmal Rusdy yakin bunyi tiruan burung
walet sudah melebihi 85 desibel, ambang batas normal kepekaan bunyi di
udara.
Seorang budayawan setempat yang juga pengamat sosial masyarakat,
Soedarno Mahyudin, mengatakan, pengusaha walet baik warga setempat
maupun pemodal dari luar daerah membangun gedung tinggi bertingkat
sebagai tempat bersarang burung-burung ini. Mereka memikat sekelompok
besar walet bersarang di gedungnya dengan memperdengarkan kaset tiruan
bunyi walet di setiap gedung.
Meski walet telah terperangkap bersarang pada gedung tertentu, tape
pemutar kaset akan terus dihidupkan. Cara ini dipercaya mampu
mempertahankan walet pulang ke sarang setelah bepergian sehari penuh.
Memikat burung walet agar mau bersarang dalam suatu gedung tidak
mudah. Banyak juga ditemukan gedung-gedung bertingkat yang kosong dari
serbuan walet meski bunyi tiruan suara burung walet terus
diperdengarkan. Namun, sepertinya warga yang menerjuni bisnis ini
tidak mau menyerah begitu saja. Kaset terus mengeluarkan bunyi khas
penarik walet sepanjang waktu.
Bunyi ini sudah melekat dalam keseharian kota dan memang sangat
mengganggu, terutama saat jam pelajaran berlangsung. Anak-anak
terpaksa ekstra konsentrasi ketika menyimak pelajaran," kata Budiono,
guru bahasa Mandarin di salah satu sekolah menengah di Bagansiapiapi.
Kepala Dinkes Riau menegaskan, bahaya yang ditimbulkan dari tak
terkontrolnya usaha walet sebenarnya lebih banyak bersinggungan dengan
kesehatan masyarakat. Genangan air pada gedung-gedung tempat walet
bersarang merupakan tempat ideal bagi nyamuk pembawa penyakit demam
berdarah berkembang biak.
Nyamuk pembawa demam berdarah adalah jenis nyamuk yang hidup di dalam
ruangan. Jika di dalam suatu ruangan terdapat sarana berupa genangan
air jernih yang ia butuhkan, maka perkembangbiakan terus terjadi.
Mereka pun lebih suka menyerang manusia di pagi hari seperti di dalam
ruang kelas," kata Ekmal.
Pembawa virus
Didukung kondisi demikian, daerah Bagansiapiapi sangat potensial
menjadi daerah endemik demam berdarah. Dampak maraknya bisnis walet
tepat di pusat kota ini juga disinyalir membawa virus penyebab
penyakit bagi masyarakat. Menurut Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Provinsi Riau Khairul Zainal, ada pendapat yang menyatakan
virus pada walet menyebabkan gangguan janin jika tertular pada manusia.
Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir Wazirwan Yunus
ketika dihubungi pertengahan Februari lalu mengatakan, hingga kini
belum ada penelitian khusus mengenai dampak negatif walet terhadap
kesehatan masyarakat di Bagansiapiapi. Namun, keluhan soal hal itu
sudah cukup banyak disampaikan warga.
Permasalahannya, belum ada satu pun kesepakatan pendapat mengenai
dampak pasti perkembangbiakan walet bagi kesehatan manusia. Khairul
mengatakan, pihaknya banyak mendapat masukan mengenai hal ini selama
beberapa tahun terakhir. Untuk itu, pihaknya akan mengadakan
penelitian dan workshop (lokakarya) berkaitan dengan berbagai sisi
baik dan buruk perkembangbiakan walet di pusat kota berdampingan
dengan kehidupan masyarakat.
"Di beberapa kabupaten/kota di Riau telah ada peraturan daerah yang
mengatur usaha walet. Tetapi memang lebih menitikberatkan pada
pertimbangan ekonomis, seperti pajak atau retribusi. Padahal, sisi
yang lebih penting adalah mengatur usaha ini agar meminimalkan atau
kalau dapat menjauhkan masyarakat dari ancaman gangguan kesehatan yang
ditimbulkan dari keberadaan walet di tengah-tengah masyarakat," kata
Khairul.
Menurut dia, sarang walet seharusnya berada jauh dari pusat permukiman
manusia. Secara alami, walet telah terbiasa mendiami goa-goa di
tebing-tebing dekat pantai. Di habitat alamnya, walet nyaman
berkembang biak sesuai dengan struktur asli alam. Manusia mulai
melihat nilai ekonomis sarang walet dengan menambangnya hingga merayap
ke tebing-tebing tersebut. Akal manusia terus berputar agar lebih
mudah memetik hasil sarang walet. Hasilnya adalah replika goa berupa
bangunan bertingkat tertutup rapat dan gelap hampir seluruh wilayah di
Nusantara.
Rp 40 juta per kg
Dalam satu bulan rata-rata pengusaha walet mampu memanen satu sampai
lima kilogram sarang walet. Terbagi dalam beberapa kualitas, penjualan
per kilogram berkisar antara Rp 10 juta hingga lebih dari Rp 40 juta.
Namun, keuntungan tersebut makin lama tidak lagi membuai masyarakat
setelah berbagai dampak negatif menjangkiti mereka.
Lapisan masyarakat dari berbagai kelas sosial mulai menyorot kehadiran
walet di tengah- tengah mereka. Masyarakat awam hanya melihat mereka
terpinggirkan dalam masalah ekonomi, tidak pernah terciprat
keuntungan, tetapi harus menanggung bising setiap hari.
Para pemerhati lingkungan melihat sisi kerusakan lingkungan dan
gangguan kesehatan parah yang dihasilkan tubuh-tubuh hitam bersayap
ini. Keindahan kota juga terganggu dengan hadirnya jutaan burung
menutupi langitnya pada pagi dan sore hari. Burung walet yang terbang
berkelompok juga dapat membahayakan lalu lintas penerbangan.
Dalam satu tahun terakhir, warga Bagansiapiapi mulai meminta
pemerintah setempat mendisiplinkan para pengusaha walet. Ini dilakukan
setelah lebih dari 15 tahun hidup bersama walet. Janji terbentuknya
peraturan daerah pun telah dikabarkan sejak beberapa bulan lalu.
Namun, hingga kini walet terus bebas berteriak sepanjang hari dan
bahaya kesehatan terus mengancam masyarakat.
Pemerintah daerah setempat yang diwakili Wazirwan Yunus mengatakan,
dalam tahun 2005 ini peraturan daerah walet akan disahkan. Tanpa dapat
menunjukkan rencana program penelitian terhadap detail usaha walet dan
analisis dampak kesehatannya, masyarakat Bagansiapiapi hanya dapat
berharap cemas janji itu dapat terealisasi dalam waktu dekat. (nel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar